Dampakketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat adalah timbulnya disintegrasi bangsa. Disintegrasi adalah keadaan tidak bersatu padu yang menghilangnya keutuhan, atau persatuan serta menyebabkan perpecahan. Disintegrasi bangsa adalah memudarnya kesatupaduan antargolongan dan kelompok yang ada dalam suatu bangsa yang bersangkutan. Makakemudian di dalam rapat besar yang dilangsunkan di sejumlah daerah, dimana Kolonel D.J Somba menyatakan bahwa sejak 17 Februari 1958, pada Komando Daerah Sulawesi Utara dan juga Sulawesi tengah memutuskan hubungan dengan pemerintahan pusat dan lebih mendukung PRRI. Dampak Dari Pemberontakan PRRI. Adapun dampak yang di Akibat adanya ketidakpuasanterhadap pemerintah pusat terutama dalam hal wewenang daerah 4. Ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat terutama. School Dassel-cokato Senior High; Course Title COM 2011; Uploaded By KidRain3463. Pages 36 This preview shows page 21 - 23 out of 36 pages. Pemerintahdaerah sebagai bagian dari pemerintah nasional tetap merupakan tangung jawab dari pemerintah pusat. Presiden memegang tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang Ketidakpuasanmasyarakar menyebabkan emosi meluap dan kemudoan dilampiasakan pada tindakan pemebeeontakam dan kerusuhan. Dampak yang dianggap berbahaya dan dapat mengancam keutuhan NKRI. Dampak demokrasi liberal secara positif dan negatif bagi bangsa Indonesia. Tentu dapat menjadi sebuah pembelajaran dalam menerapkan sistem demokrasi yang dianut. Dampakdari ini membuat para perusahaan kesukaran (Kesulitan) mendapatkan karyawan dengan pendidikan tinggi dan kualitas baik. Cara mengatasi kesenjangan sosial ekonomi di indonesia itu sendiri yaitu, Kesenjangan sosial ekonomi bisa di selesaikan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah maupun pusat. Karena ini termasuk masalah yang serius. BPSmengingatkan, tingginya inflasi akibat lonjakan harga pangan berisiko besar terhadap peningkatan kemiskinan. BPS pada Maret lalu mencatat angka kemiskinan mengalami penurunan ke level 9,71 persen atau 26,5 juta jiwa. Kemiskinan di perdesaan sebesar 12,29 persen, lebih tinggi dari persentase di perkotaan yang sebesar 7,5 persen. oAPdh. [ad_1] Jakarta, NU Online Pada era Presiden KH Abdurrahman Wahid Gus Dur telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dasar hukum itu disebut juga sebagai UU Otonomi Khusus Otsus. Kini UU Otsus sudah hampir dua puluh tahun berjalan, tapi di Bumi Cendrawasih itu masih saja muncul suara-suara tuntutan ketidakpuasan. Padahal sudah ada UU Otsus yang seharusnya, secara konsep, mampu mengatur hidup dan kehidupan rakyat Papua. Penulis buku Gus Dur Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka Ahmad Suaedy menjawab, karena pemerintah hanya melakukan tiga dari delapan unsur penting yang terdapat di dalam UU Otsus itu. Tiga unsur yang sudah dilakukan pemerintah itu pun masih sangat jauh dari kenyataan. Pertama, soal dana Otsus. Menurut Suaedy persoalan ini sangat rumit diselesaikan. Sebab terjadi banyak korupsi, penyelewengan, dan penindasan. Dengan kata lain, wajar saja jika rakyat Papua kerap menyuarakan ketidakpuasan terhadap UU Otsus. Penyebabnya adalah karena terjadi pemangkasan dana dari pemerintah sendiri. Kedua, Majelis Rakyat Papua MRP. Secara konsep, kata Suaedy, MRP ini sangat bagus karena mewadahi tradisi Papua yang cenderung informal dalam pergaulan sosial-politik. Di MRP, terdapat ketua adat yang mewadahai para pemimpin yakni utusan adat, utusan agama, dan utusan perempuan. “Di sinilah Papua sebenarnya jauh lebih maju dari daerah mana pun. Karena tidak ada sebuah lembaga yang secara eksplisit menempatkan perempuan sebagai unsur utama dari tiga unsur utama itu. Papua justru menjadi pelopor dalam hal ini,” ungkap Suaedy dalam Ziarah Pemikiran Gus Dur dan Papua pada Sabtu 12/12 lalu. Hanya saja, lanjutnya, pada periode kedua berjalannya UU Otsus, terjadi proses Litsus sebuah ungkapan sebuah penyaringan pada zaman orde baru. Di periode pertama, kata Suaedy, rekrutmen berjalan sangat baik karena masyarakat dibebaskan untuk bergabung dengan MRP. “Tapi periode kedua dan ketiga, ada semacam Litsus. Jadi orang yang masih menawar dan mengritisi pemerintah itu tidak bisa masuk. Padahal MRP ini didesain untuk memperdebatkan sesuatu yang belum selesai. Misalnya di dalam UU 21 itu ada tentang klarifikasi sejarah,” jelasnya. “Bagi persepsi semua orang pemimpin negara sekarang ini, klarifikasi sejarah itu seolah identik dengan tuntutan merdeka,” sambung Suaedy. Namun bagi Gus Dur, tidak ada hal yang tidak bisa diselesaikan dengan damai. Soal klarifikasi sejarah yang terdapat di dalam salah satu pasal di UU Otsu situ, menurut Gus Dur, pasti akan bisa diselesaikan. Gus Dur beranggapan bahwa soal sejarah itu pasti akan bisa diselesaikan dengan kompromi. Sedangkan di dalam konflik, pasti terdapat jarak perbedaan pendapat 180 derajat. Misalnya aktivis Papua ingin merdeka, tapi pemerintah Indonesia ingin bersatu. Itulah 180 derajat. “Dalam proses dialog, semakin lama akan semakin menipis. Lalu menjadi nol derajat. Itulah yang seharusnya terjadi pada UU Otsus itu. UU Otsus berangkat dari perbedaan pendapat 180 derajat,” ungkap Anggota Ombudsman RI ini. “Tapi satu tahun kemudian, November 1999 hingga November 2000 terjadi proses kebebasan berpendapat yang sangat luar biasa. Saya melakukan penelitian bahwa tidak ada kekerasan pada saat itu. karena ada kebebasan. Jadi semua orang bisa bicara apa saja,” imbuhnya. Menurut Gus Dur, orang ingin merdeka dan mendiskusikan tentang kemerdekaan tidak bisa dilarang. Gus Dur memperbolehkan orang Papua untuk berfikir dan berdiskusi. Sebab yang tidak boleh adalah menyatakan kemerdekaan. “Maka dalam satu tahun itu, orang sangat bebas. Tapi tidak ada satu pun kelompok yang mendeklarasikan kemerdekaan. Karena dialog terus terjadi,” tutur Suaedy. Jadi, jika saat ini ada suara dari rakyat Papua yang tidak butuh pembangunan maka itu adalah suara keras. Namun kata Suaedy, kalimat yang lebih tepatnya adalah Papua tidak cukup dengan pembangunan tetapi harus ada martabat kemanusiaan untuk orang Papua. Ketiga, soal hukum adat. Di dalam UU Otsus, persoalan hukum ada sudah sangat jelas diatur. Menurut Suaedy, aturan soal hukum adat di Papua sebenarnya sama dengan syariat Islam di Aceh. “Syariat Islam di Aceh dibiayai dengan besar. Ada strukturnya, hakim dan UU-nya. Tapi kenapa di Papua tidak demikian? Ini kan masalah besar,” ucap Suaedy. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah dibentuk tujuh wilayah adat di Papua. Namun Suaedy mengaku pernah datang ke beberapa wilayah adat tersebut dan tidak menemukan ada fasilitas apa pun. “Seharusnya kan mereka di Papua misalnya ada kantor, gaji, hakim, struktur birokrasi. Sebagaimana syariat Islam di Aceh. Tapi kenapa di Papua tidak begitu?” pungkas Suaedy, mempertanyakan. Pewarta Aru Lego Triono Editor Fathoni Ahmad [ad_2] Source link Sejak 31 Maret 2020, Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menyatakan kondisi darurat kesehatan terkait wabah COVID-19 yang berdampak pada berbagai sektor kegiatan baik perekonomian dan sosial kemasyarakatan. Jokowi menyatakan darurat kesehatan nasional melalui sebuah Keputusan Presiden Keppres. Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah PP tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar PSBB dan Peraturan Menteri Kesehatan Permenkes untuk pelaksanaan PSBB. Secara de facto, Indonesia kini berada dalam masa hukum tata negara darurat, sehingga hukum nasional yang tidak berlaku seperti dalam kondisi normal. Pelaksanaan hukum darurat ini membolehkan negara untuk melakukan hal-hal di luar prinsip hukum umum, termasuk mengesampingkan kewenangan otonomi daerah. Sayangnya, status darurat yang diberlakukan menafikan pengetahuan dan kemampuan pemerintah daerah dalam proses penanganan pandemi. Pemerintah daerah yang seharusnya menjadi ujung tombak penanganan pandemi justru tidak dapat membuat keputusan sendiri dan bergantung pada keputusan pemerintah pusat. Read more Enam alasan mengapa orang Papua menolak pemekaran Tidak sejalan Selama masa darurat, pemerintah daerah banyak terkekang pemerintah pusat. Dalam menetapkan PSBB di suatu wilayah, misalnya, gubernur, bupati, atau walikota setempat harus membuat permohonan pada Menteri Kesehatan. Hal ini menyebabkan panjangnya waktu yang harus dijalani oleh Pemerintahan Daerah, dimana segala sesuatunya dalam keadaan Pandemi ini harus dijalankan secara cepat dan tepat. Contoh lain, pemerintah pusat memutuskan secara sepihak untuk mengganti model proses belajar mengajar, padahal tidak seluruh siswa di segala tingkat pendidikan dapat mengikutinya. Dinas pendidikan di tingkat daerah tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi masing-masing daerahnya. Meski dilegalkan dalam kondisi darurat, kekang pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah di atas berlawanan dengan semangat otonomi daerah yang sudah lama diperjuangkan sejak reformasi. Otonomi daerah adalah salah satu prinsip dasar yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak boleh dilanggar. Konstitusi sendiri merupakan kesepakatan mengenai prinsip yang dianut oleh bangsa Indonesia. Dalam hal otonomi daerah, Pasal 18 ayat 5 Undang-Undang Dasar 1945 telah menjelaskan secara jelas bahwa otonomi daerah dijalankan secara seluas-luasnya kecuali urusan yang secara nyata telah ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Selama kesepakatan tersebut belum berubah, maka konstitusi tetap berlaku dan wajib dihormati seutuhnya. Otonomi daerah bertujuan untuk memberikan keleluasaan agar daerah mampu memaksimalkan potensinya, sehingga ketimpangan antar daerah yang terjadi dapat ditekan. Tapi keleluasaan tersebut ditarik kembali selama pandemi yang akhirnya menyebabkan perlambatan pelaksanaan penanganan pandemi di daerah. Pembukaan kembali bandar udara, pergerakan penduduk dengan persyaratan khusus, dan tetap beroperasinya kereta Commuter Line di Jabodetabek Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi adalah beberapa contoh ketidakharmonisan hubungan pusat dengan daerah yang bersama-sama berperang melawan wabah. Pemerintah daerah dibuat tidak berdaya untuk menghentikan beberapa keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat. Read more Janji pemerintah untuk melindungi hak masyarakat adat belum terwujud 2 hal yang perlu dilakukan Pentingnya kolaborasi Dalam masa pandemi, kolaborasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah seharusnya dapat tercipta. Kolaborasi sangat penting karena pemerintah daerah lebih memahami kondisi sosial kemasyarakatan, budaya, geografis, dan segala aspek terkait daerah mereka, sehingga mereka dapat merumuskan strategi yang tepat untuk melawan pandemi ini untuk masyarakat masing-masing. Bentuk kolaborasi tersebut merupakan salah satu dari tiga model hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah. Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah yang pertama adalah bentuk model relatif di mana pemerintah pusat memberikan kebebasan pada pemerintah daerah dengan tetap memberikan pengakuan terhadap pemerintah pusat. Selain itu, ada model agensi yaitu ketika pemerintah daerah hanya sebagai agen dan pelaksana teknis dari kebijakan-kebijakan yang seluruhnya dibuat oleh pemerintah pusat lalu ada model interaksi yang merupakan bentuk model yang paling fleksibel. Dalam model interaksi, pemerintah pusat memberikan kebebasan yang amat luas kepada daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan, selama kebijakan tersebut dianggap menguntungkan kedua belah pihak. Dari ketiganya, model relatif menjadi model yang disepakati oleh pemerintah Indonesia sebagai proses pelaksanaan otonomi daerah. Meski dalam kondisi otonomi daerah, pemerintah pusat dapat menjadi dominan sehingga bisa memiliki imunitas untuk melakukan tindakan-tindakan di luar kewajaran dalam praktik hukum darurat, seperti yang diungkap oleh William Nicholson, seorang profesor hukum di North Carolina Central University, Amerika Serikat. Imunitas ini kemudian membuat negara dan perangkatnya tidak dapat dituntut secara hukum. Namun Nicholson juga mengatakan bahwa imunitas tersebut harus dijalankan berdasarkan prinsip kehati-hatian yang mengutamakan kepentingan publik. Read more Kapasitas beberapa pemerintah daerah naik dalam mengelola pendidikan dasar, apa pendongkraknya? Upaya pencegahan Ke depan, perlu ada solusi untuk mencegah dominasi pemerintah pusat atas pemerintah daerah khususnya dalam kondisi darurat negara, selain dari kondisi darurat militer. Perlu ada peraturan perundangan yang secara lebih spesifik untuk mengatur hubungan antara dengan hubungan pusat dan daerah, terutama dalam keadaan darurat. Indonesia belum memiliki regulasi baik undang-undang maupun segala tata aturan pelaksananya yang mengatur kondisi darurat negara. Undang-Undang UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hanya mengatur adalah mengenai perubahan anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam kondisi darurat. Tanpa harus membuat UU baru, pemerintah dapat merevisi UU No. 23 tahun 2014 dengan memberikan desentralisasi secara luas sebagaimana amanat UUD 1945, tidak hanya dalam hal realokasi anggaran namun juga pada pengambilan kebijakan oleh pemerintah daerah. Harapannya, pemerintah pusat dan daerah bisa bersinergi menghadapi situasi darurat kesehatan nasional, dan pemerintah pusat tetap bertindak dalam koridor konstitusi. Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

dampak ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat adalah